Pada tanggal 18 Agustus 2007 lalu, saya berkesempatan menghadiri
Muktamar Tahunan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) di Kuala Lumpur.
Panitia seminar Muktamar ABIM meminta saya membentangkan sebuah
makalah tentang perbandingan posisi Islam di Indonesia dan Malaysia.
Hadir juga sebagai pembicara dalam seminar tersebut Prof. Dr. Wan Mohd
Nor Wan Daud, Dr. Muhammad Nur Manuty, Prof. Abdul Aziz Bari, Dr.
Mohd. Nor Nawawi, dan pengacara senior Pawancheek Marican.
Tema tentang posisi Islam dalam negara senantiasa merupakan masalah
yang sangat menarik dan menjadi perdebatan hangat di antara ilmuwan
maupun para negarawan, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Hingga
kini, meskipun konstitusi di Malaysia menetapkan Islam sebagai agama
resmi negara, tetapi penafsiran konstitusi itu juga cukup beragam.
Pertanyaan yang masih hangat di Malaysia adalah "apakah Malaysia
merupakan negara Islam atau negara sekular?" Sebagian pemimpin
Malaysia menyatakan, bahwa Malaysia adalah negara Islam dan bukan
negara sekular. Tetapi, sebagian lain menyatakan, bahwa Malaysia
bukanlah negara Islam, tetapi juga bukan negara sekular.
Dalam makalahnya yang berjudul "Is Malaysia a Secular State? Certainly
It is Not", Pawancheek Marican menegaskan, bahwa dari segi peraturan
perundang-undangan memang Malaysia bukan negara sekular. Jauh sebelum
merdeka tahun 1957, Malaysia telah menerapkan hukum Islam. Mahkamah
Agung Malaysia, tahun 1993, menegaskan, bahwa memang Muslim di
Malaysia diatur dengan hukum keluarga Islam. Hukum ini telah eksis di
Malaysia sejak abad ke-15.
Bahkan, faktanya, Islam telah bertapak secara formal di Malaysia
tepatnya pada tahun 1136, ketika Raja Hindu Kedah, Merong Maha Wangsa
masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Muzaffar Syah. Karena
itu, pasal 3 (1) Konstitusi Malaysia yang menyatakan, bahwa Islam
adalah agama resmi negara, merupakan aspirasi kaum Melayu/Muslim sejak
wilayah itu menjadi Muslim, beberapa abad sebelum masuknya penjajah
Inggris, Portugis, dan Belanda.
Guru besar di Universitas Islam Internasional, Prof. Dr. Abdul Aziz
Bari menjelaskan, menilik hukum perlembagaan di Malaysia, maka bisa
dikatakan bahwa negara Malaysia sebenarnya "telah disyahadatkan" .
Lebih jauh, Prof. Abdul Aziz Bari menulis: "Jika kita fahami
perlembagaan secara harfiah kita boleh mengatakan bahawa negara ini
telah disyahadatkan. Dengan itu terpulanglah kepada kita untuk mengisi
kerangka itu dengan apa yang dituntut oleh Islam. Dan kita sebagai
rakyat negara ini berhak untuk mentafsirkan `agama persekutuan' itu
mengikut Islam kerana agama yang dimaksudkan ialah agama Islam.
Adalah ganjil jika ia ditafsirkan mengikut agama lain. Lagipun negara
ini asalnya memang negara Islam: negara ini adalah lanjutan dan
penerusan kepada sejarah Kesultanan Melayu Melaka yang
perlembagaannya, yakni Kanun Undang-undang Melaka, berdasarkan hukum
Islam."
Prof. Aziz Bari juga menjelaskan, bahwa dalam sejarahnya, kedudukan
Islam dalam sistem undang-undang di Malaysia, memang disingkirkan
dengan cara yang tidak beradab. Ini bermula ketika Inggris
melaksanakan undang-undang mereka di Pulau Pinang yang mereka klaim
sebagai "tidak berpenghuni" . Padahal, Pulau tersebut adalah merupakan
wilayah Kesultanan Kedah yang menerapkan hukum Islam. Pemakaian
undang-undang Inggris itu kemudian diperluas ke negeri-negeri Melayu.
Semula, Inggris hanya berhak memberi nasehat kepada Sultan dalam soal
pemerintahan. Tetapi, dalam beberapa kasus, penjajah juga campur
tangan dalam soal Islam.
Betapa pun asal mulanya merupakan tipu daya penjajah, tetapi menurut
Prof. Aziz Bari, umat Islam sendiri yang kemudian merasa sudah
terbiasa dengan sistem dan undang-undang penjajah. Orang-orang Muslim
sendiri kemudian lebih paham dan lebih mahir dalam soal hukum
penjajah. Kata Prof. Aziz Bari:
"Tetapi oleh kerana kita sendiri yang kemudian bergantung kepada
sistem tersebut maka setelah British tidak ada lagi pun kita masih
tidak dapat berbuat apa-apa. Dan buat masa ini kita terpaksa pula
berdebat dengan kaum-kaum yang dibawa masuk oleh British ke tanah air
ini."
Yang jelas, menurut para pembicara dalam seminar ABIM tersebut,
Malaysia memang bukan negara sekular. Sifat sekular yang didakwakan
oleh sejumlah kalangan di Malaysia saat ini, menurut Prof. Aziz Bari,
sebenarnya bukan jatidiri dan ciri asal dari negara Malaysia.
Sebab, negeri Malaysia sejak semula memang merupakan kelanjutan
kesultanan Melayu Islam. Dan di dalam sistem perundang-undangan
Malaysia, saat ini pun, Islam dijadikan sebagai agama resmi negara dan
pemerintah berkewajiban melindungi akidah Islam. Dalam situs
pemerintah Malaysia dikatakan:
"Kerajaan tidak pernah bersikap sambil lewa dalam hal-hal yang
berkaitan dengan akidah umat Islam. Segala pendekatan dan saluran
digunakan secara bersepadu dan terancang bermula dari pendidikan
hinggalah ke penguatkuasaan undang-undang semata-mata untuk melihat
akidah umat Islam terpelihara di bumi Malaysia".
[http://www.islam. gov.my/e- rujukan/islammas .html]
Di tengah berbagai problema tersebut, bisa dikatakan, Malaysia adalah
sebuah negara Muslim yang telah selesai menegaskan jatidirinya sebagai
kelanjutan peradaban Melayu Islam. Identitas nasionalnya jelas,
meskipun jumlah umat Islam hanya sekitar 55 persen.
Betapa pun perekonomian negeri itu sebagian besar juga dikuasai oleh
warga keturunan China, tetapi keberpihakan pemerintah dalam melindungi
bangsa Melayu/Islam telah turut menjadi penyeimbang kekuatan antar
etnis di Malaysia.
Pada kesempatan seminar tersebut, saya mengimbau saudara-saudara kita
di Malaysia, agar berhati-hati dalam menggelorakan semangat demokrasi
dan kebebasan yang berusaha merontokkan seluruh hak-hak istimewa dan
kelembagaan kaum Muslim. Kebebasan yang kebablasan akan memberikan
kesempatan kepada para pemilik modal untuk menguasai seluruh aset
ekonomi dan politik, yang ujung-ujungnya akan menimbulkan kesulitan
besar bagi kaum miskin – yang mayoritasnya adalah kaum Muslim.
Sebagian kalangan di Malaysia kini memimpikan kebebasan 'ala
Indonesia'. Semua pilihan tentu ada plus-minusnya. Dan itu harus
dihitung dengan matang, untung ruginya buat Malaysia sendiri.
Akhir-akhir ini, kedudukan Islam di Malaysia memang sedang banyak
digugat. Malaysia sering dituduh sebagai negara yang tidak menghormati
HAM karena memberikan hak-hak istimewa kepada kaum Melayu. Tidak ada
hak murtad bagi orang yang Muslim. Padahal, dalam pandangan HAM Barat,
setiap orang harus dijamin hak-haknya untuk memeluk agama apa pun,
termasuk hak untuk murtad. Semua aturan Islam yang dianggap
bertentangan dengan HAM dan kepentingan kaum non-Muslim di Malaysia
terus-menerus digugat.
Pada kondisi seperti ini, harusnya kaum Melayu menyadari tantangan
besar yang mereka hadapi di Malaysia. Jumlah mereka yang hanya sekitar
55 persen dari seluruh penduduk Malaysia seharusnya membuka mata dan
hati mereka untuk tidak bertikai satu sama lain. Mereka adalah Muslim.
Dan mereka akan senantiasa dilihat dan diperlakukan sebagai Muslim.
Apapun partai politik mereka. Kaum Melayu di Malaysia harusnya bisa
belajar dari sejarah, bagaimana hancurnya kekuatan Muslim di Andalusia
yang salah satu faktor utamanya adalah perpecahan di antara mereka.
Sejumlah penguasa lebih senang bersekutu dengan kaum Kristen untuk
memerangi sesama Muslim. Akibatnya, ketika secara total Andalusia
jatuh ke tangan kaum Kristen pada tahun 1492, maka semua Muslim, tanpa
pandang bulu diberi ultimatum untuk masuk Kristen, pergi meninggalkan
Andalusia, atau dijatuhi hukuman mati.
Yang juga memilukan adalah soal hubungan kaum Melayu dan Muslim di
Indonesia. Secara umum, rasa persaudaraan itu terasa menyedihkan.
Banyak kaum Melayu di Malaysia yang belum mengenal Indonesia dengan
baik dan sama sekali tidak merasa sebagai bagian dari saudaranya
sesama Muslim. Dari segi bahasa, terjadi kesenjangan yang semakin
menjauh antara bahasa Indonesia dengan bahasa Malaysia. Padahal,
potensi Muslim Indonesia yang sekitar 170 juta jiwa sangatlah besar.
Seharusnya, pemerintah Indonesia dan Malaysia mengedepankan semangat
ke-Islaman dan ke-Melayuan dalam segala urusan antara kedua negara,
seperti penanganan masalah TKI dan sebagainya. Potensi kaum Muslim di
wilayah Melayu Nusantara yang jumlahnya sekitar 200 juta jiwa ini
perlu ditata dan digalang untuk menghasilkan sebuah bangunan peradaban
Melayu yang tinggi dan agung.
Bagi kita, kaum Muslim di Indonesia, perdebatan tentang negara sekular
atau negara Islam di Malaysia itu bisa menjadi pelajaran berharga.
Dalam sejarah Indonesia, hingga kini, perdebatan tentang identitas
nasional Indonesia, masih belum tuntas. Ada tiga peradaban yang
berpengaruh dalam perumusan identitas nasional, yaitu peradaban Islam,
peradaban Hindu, dan peradaban Barat. Meskipun bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa Melayu telah dijadikan sebagai bahasa nasional,
tetapi banyak istilah-istilah Sansekerta yang ditetapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti Bhinneka Tunggal Ika, Tut
Wuri Handayani, dan sebagainya.
Jauh sebelum kemerdekaan, para tokoh Islam telah mengusulkan suatu
bentuk negara agama (bukan teokrasi); di mana Islam ditempatkan
sebagai dasar negara; setidaknya Islam menjadi agama resmi negara.
Pihak lain, yang dikenal sebagai golongan nasionalis-sekular menolak
usulan itu. Pihak Komunis dan minoritas lainnya, tidak secara resmi
mengemukakan pandangan dan pendiriannya. Akhirnya, setelah melalui
perdebatan yang sangat keras, pada 22 Juni 1945, disepakatilah rumusan
Dasar Negara Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama "Piagam Jakarta".
Salah satu isinya yang penting adalah poin pertama dari Pancasila yang
berbunyi: "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. "
Kita tahu, Piagam Jakarta itu kemudian juga digagalkan pada 18 Agustus
1945. Toh, para tokoh Islam tidak pernah menyerah untuk memperjuangkan
Islam dan meyakinkan seluruh kaum Muslim Indonesia, khususnya para
elitenya, untuk memahami dan menerima Islam sebagai pandangan hidup
mereka. Berbagai jalan dakwah senantiasa ditempuh, apakah melalui
jalan politik, pendidikan, dan sebagainya. Dakwah senantiasa berjalan
di negeri ini. Secara politik dan budaya telah banyak perubahan yang
dicapai. Jika jilbab dulu dianggap sebagai barang haram di negeri ini,
sekarang sudah begitu meluas penggunaannya di kalangan pejabat dan
masyarakat umumnya. Banyak perundang-undangan yang secara tegas atau
tersamar mengadopsi syariat Islam.
Dakwah adalah proses perjuangan yang terus menerus menuju pada
kejayaan Islam. Para pejuang Islam dari dulu yakin, bahwa untuk
menjadi umat dan bangsa yang mulia, mereka harus menjadikan Islam
sebagai pedoman hidup mereka. Umat Islam memang harusnya menjadi umat
yang mulia, khairu ummah, yang ciri-cirinya adalah aktif melakukan
amar ma'ruf nahi munkar kepada umat manusia, dan beriman teguh kepada
Allah (QS Ali Imran:110). Sebagai Muslim, kita yakin, bahwa kita akan
menjadi hina, dunia dan akhirat, jika kita meninggalkan ajaran Islam.
"Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama
Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah
mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang
kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada
orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak
takut pada celaan orang-orang yang suka mencela." (QS al-Maidah:54)
Karena itu, sebagai Muslim kita yakin, bahwa jika umat Islam Indonesia
ingin menjadi bangsa besar yang disegani dunia, maka para elite negeri
ini perlu membuat sebuah keputusan berani untuk mengambil Islam
sebagai asas bengunan peradaban Indonesia di masa depan. Peradaban
Islam yang telah ratusan tahun bertapak di wilayah Nusantara ini perlu
diaktualkan kembali sesuai dengan watak dasar peradaban Islam yang
sangat menghargai tradisi ilmu. [Depok, 24 Agustus
2007/www.hidayatull ah.com]
----------------------------------------------------------------
This e-mail has been sent via JARING webmail at http://www.jaring.my
No comments:
Post a Comment