Saturday, November 18, 2006

seorang musuh islam menjadi ulamak terkenal

seorang musuh islam menjadi ulamak terkenal

Suatu petang, di Tahun 1525. Penjara tempat tahanan orang-orang di situ
terasa hening mencengkam. Jeneral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang
terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.

Setiap banduan penjara membongkokkan badannya rendah-rendah ketika
'algojo
penjara' itu melintasi di hadapan mereka. Kerana kalau tidak, sepatu
'boot
keras' milik tuan Roberto yang fanatik Kristian itu akan mendarat di
wajah
mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar
seseoran mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
"Hai...hentikan suara jelekmu! Hentikan...!" Teriak Roberto
sekeras-kerasnya sambil membelalakkan mata. Namun apa yang terjadi?
Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan
khusyu'nya.
Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan
yang
luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang.

Dengan marah ia menyemburkan ludahnya ke wajah tua sang tahanan yang
keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai di situ, ia lalu menyucuh
wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang
menyala.
Sungguh ajaib... Tak terdengar secuil pun keluh kesakitan. Bibir yang
pucat
kering milik sang tahanan amat galak untuk meneriakkan
kata Rabbi, wa ana 'abduka... Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban
itu
serentak bertakbir sambil berkata, "Bersabarlah wahai ustaz...InsyaALlah
tempatmu di Syurga."

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustaz oleh sesama tahanan,
'algojo penjara' itu bertambah memuncak marahnya. Ia memerintahkan
pegawai
penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu
keras-kerasnya sehingga terjerembab di lantai.

"Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa hinamu
itu?! Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Ketahuilah
orang tua dungu, bumi Sepanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan
bapa
kami, Tuhan Jesus. Anda telah membuat aku benci dan geram dengan
'suara-suara' yang seharusnya tidak didengari lagi di sini. Sebagai
balasannya engkau akan kubunuh. Kecuali, kalau engkau mahu minta maaf
dan
masuk agama kami."

Mendengar "khutbah" itu orang tua itu mendongakkan kepala, menatap
Roberto
dengan tatapan yang tajam dan dingin. Ia lalu berucap,

"Sungguh...aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat
menjumpai
kekasihku yang amat kucintai, ALlah. Bila kini aku berada di puncak
kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut
kepadamu, hai manusia busuk? Jika aku turuti kemahuanmu, tentu aku
termasuk
manusia yang amat bodoh."

Sejurus sahaja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah
mendarat
di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai
penjara dengan wajah berlumuran darah. Ketika itulah dari saku baju
penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto
berusaha memungutnya. Namun tangan sang Ustaz telah terlebih dahulu
mengambil dan menggenggamnya erat-erat. "Berikan buku itu, hai laki-laki
dungu!" bentak Roberto.

"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh
barang
suci ini!"ucap sang ustaz dengan tatapan menghina pada Roberto. Tak ada
jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan
buku
itu. Sepatu lars seberat dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak
jari-jari tangan sang ustaz yang telah lemah.

Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Namun
tidak
demikian bagi Roberto. Laki-laki bengis itu malah merasa bangga
mendengar
gemeretak tulang yang terputus. Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih
puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya
yang telah hancur.

Setelah tangan tua itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang
membuatnya baran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh.
Mendadak algojo itu termenung.

"Ah...seperti aku pernah mengenal buku ini. Tetapi bila? Ya, aku pernah
mengenal buku ini."

Suara hati Roberto bertanya-tanya. Perlahan Roberto membuka lembaran
pertama itu. Pemuda berumur tiga puluh tahun itu bertambah terkejut
tatkala
melihat tulisan-tulisan "aneh" dalam buku itu. Rasanya ia pernah
mengenal
tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di
bumi
Sepanyol.

Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustaz yang sedang melepaskan
nafas-nafas terakhirnya. Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda
tanya
yang dalam. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat
peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak.

Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu petang di masa kanak-kanaknya terjadi
kekecohan besar di negeri tempat kelahirannya ini. Petang itu ia melihat
peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi (lapangan tempat
pembantaian kaum muslimin di Andalusia). Di tempat itu tengah
berlangsung
pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa gugur di bumi
Andalusia.

Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab)
digantung
pada tiang-tiang besi yang terpancang tinggi. Tubuh mereka
bergelantungan
tertiup angin petang yang kencang, membuat pakaian muslimah yang
dikenakan
berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda
Islam
dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang salib, hanya karena tidak mahu
memasuki agama yang dibawa oleh para rahib.

Seorang kanak- kanak laki-laki comel dan tampan, berumur sekitar tujuh
tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah
senyap. Korban-korban kebiadaban itu telah syahid semua. Kanak kanak
comel
itu melimpahkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang
gantungan. Perlahan-lahan kanak - kanak itu mendekati tubuh sang ummi
yang
tak sudah bernyawa, sambil menggayuti abinya. Sang anak itu berkata
dengan
suara parau,
"Ummi, ummi, mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah
berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa....?
Ummi, cepat pulang ke rumah ummi..."

Budak kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua
menjawab
ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu apa yang harus dibuat
.
Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah. Akhirnya budak itu berteriak
memanggil bapaknya, "Abi...Abi...Abi..." Namun ia segera terhenti
berteriak
memanggil sang bapa ketika teringat petang kelmarin bapanya diseret dari
rumah oleh beberapa orang berseragam.

"Hai...siapa kamu?!" jerit segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati
budak tersebut. "Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi..." jawabnya
memohon belas kasih. "Hah...siapa namamu budak, cuba ulangi!" bentak
salah
seorang dari mereka. "Saya Ahmad Izzah..." dia kembali menjawab dengan
agak
kasar. Tiba-tiba "Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi si kecil. "Hai
budak...! Wajahmu cantik tapi namamu hodoh. Aku benci namamu. Sekarang
kutukar namamu dengan nama yang lebih baik. Namamu sekarang 'Adolf
Roberto'...Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yang buruk itu. Kalau kau
sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!" ancam laki-laki itu."

Budak itu mengigil ketakutan, sembari tetap menitiskan air mata. Dia
hanya
menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi.
Akhirnya budak tampan itu hidup bersama mereka.

Roberto sedar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah
sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada
tubuh
sang ustaz. Ia mencari-cari sesuatu di pusat laki-laki itu. Ketika ia
menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeria,
"Abi...Abi...Abi..."
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Fikirannya
terus bergelut dengan masa lalunya. Ia masih ingat betul, bahwa buku
kecil
yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci milik bapanya, yang
dulu
sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia jua
ingat
betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusat.

Pemuda bengis itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua nan lemah.
Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas tingkah-lakunya selama
ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun lupa akan Islam, saat itu
dengan spontan menyebut, "Abi... aku masih ingat alif, ba, ta, tha..."
Hanya sebatas kata itu yang masih terakam dalam benaknya.

Sang ustaz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang
membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat
seseorang
yang tadi menyeksanya habis-habisan kini sedang memeluknya. "Tunjuki aku
pada jalan yang telah engkau tempuhi Abi, tunjukkan aku pada jalan
itu..."
Terdengar suara Roberto meminta belas.

Sang ustaz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, lalu memejamkan
matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika setelah
puluhan tahun, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di
tempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran
Allah.

Sang Abi dengan susah payah masih boleh berucap. "Anakku, pergilah
engkau
ke Mesir. Di sana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal
dengan
Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy. Belajarlah engkau di negeri
itu," Setelah selesai berpesan sang ustaz menghembuskan nafas terakhir
dengan berbekal kalimah indah "Asyahadu anla IllaahailALlah, wa asyahadu
anna Muhammad Rasullullah...'. Beliau pergi dengan menemui Rabbnya
dengan
tersenyum, setelah sekian lama berjuang dibumi yang fana ini.

Kini Ahmah Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Seluruh hidupnya
dibaktikan untuk agamanya, 'Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa
muda sempat disandangnya. Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru
berguru
dengannya..."

Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy.

Benarlah firman Allah...

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALLAH, tetaplah atas
fitrah ALLAH yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu. Tidak
ada perubahan atas fitrah ALLAH. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan
manusia tidak mengetahui."
(QS>30:30)

Syeikh Al-Islam Turki yang terakhir iaitu As-Syeikh Mustafa Al Basri
telah
menegaskan dalam bukunya .....

Sekularisma yang memisahkan ajaran agama dengan kehidupan dunia
merupakan
jalan paling mudah untuk menjadi murtad.

Dari : Al-Manahil

No comments: