Saturday, November 05, 2011


 

HAMKA

 

@malakmalakmal, 6 September 2011

 

Pada hari Senin malam, 5 September 2011, TVOne menyiarkan liputan ttg Buya HAMKA. HAMKA adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Nama kecilnya Abdul Malik. Ayahandanya, Syaikh Abdul Karim Amrullah, ulama besar Minangkabau, adalah guru pertamanya. Syaikh Abdul Karim Amrullah adalah murid dr Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, imam Masjidil Haram asli Minang. Selain kpd ayahnya, HAMKA belajar serba-serbi pergerakan nasional dr HOS Cokroaminoto. Syaikh Abdul Karim Amrullah bersahabat lekat dgn Syaikh Jamil Jambek, ulama Minang besar lainnya. Bersama sahabat2nya, Syaikh Abdul Karim Amrullah mengelola majalah Al-Munir. KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, adalah penikmat tulisan-tulisan di majalah Al-Munir. KH Ahmad Dahlan menerjemahkan tulisan-tulisan tersebut agar dibaca oleh masyarakat Jawa.

Pada tahun 1917, Syaikh Abdul Karim Amrullah melawat ke Jawa, menjadi tamu KH Ahmad Dahlan. Sejak saat itu, beliau menjadi pendukung Muhammadiyah. Meski tak pernah resmi menjadi anggotanya. Menantunya (kakak ipar HAMKA), yaitu AR St. Mansur, adalah tokoh besar Muhammadiyah. Kiai Haji Mas Mansur, tokoh besar Muhammadiyah, sangat segan pada beliau. Maka boleh dikatakan, Buya HAMKA sejak kecil hingga dewasa telah terbina dlm lingkungan ulama. Meski demikian, HAMKA sendiri mengaku kurang dekat dgn ayahnya di masa kecilnya.

Perubahan terjadi ketika HAMKA memasuki masa remaja. Sepulangnya dari Mesir, Sang Ayah dikejutkan dgn musibah gempa di Padang Panjang. Banyak kerugian yg diderita keluarganya, sehingga Syaikh Abdul Karim sangat bersedih. Betapa terkejutnya ia ketika menerima berita tentang HAMKA pada saat itu. Rupanya, HAMKA diam2 pergi sendiri utk menunaikan ibadah haji. Ongkos sendiri. Bukan main bangganya beliau, karena putranya mampu melakukan hal tsb tanpa merepotkan orang tua sedikitpun. Sejak saat itulah terbina hubungan yg lekat antara ayah dan anak selalu dibanggakan.

Baik HAMKA maupun ayahnya adalah ulama kebanggaan Muhammadiyah dan masyarakat Minangkabau. HAMKA pernah mengatakan bahwa tersebarnya Muhammadiyah ke seantero Sumatera adalah prestasi ayahnya. Hanya ada sedikit perbedaan yang mencolok antara HAMKA dan ayahandanya. Syaikh Abdul Karim Amrullah adalah ulama yg sangat keras hati, seringkali pemberang. Kekerasan hatinya itulah yang justru menjadi salah satu daya tarik beliau. Ketika Jepang berkuasa, para ulama dan tokoh masyarakat pernah dikumpulkan di suatu tempat. Sesuai kebiasaan Jepang, acara dimulai dengan penghormatan dengan gerakan ruku' ke arah istana Kaisar. Ketika aba-aba dikumandangkan, semua berdiri dan ruku'. Hanya 1 yang tetap di tempat duduknya. Itulah Syaikh Abdul Karim Amrullah, ulama kebanggaan Minangkabau. Maka ulama mana pun, meski berselisih pendapat dgnnya, pastilah hormat pada beliau. Buya HAMKA, sebaliknya, justru dikenal org sebagai ulama yg sangat lembut. Meski demikian, beliau pun teguh memegang prinsip. Misalnya dlm membela fatwa haram perayaan Natal bersama. Itulah sekelumit kisah ttg latar belakang pribadi Buya HAMKA, keluarga dan para ulama di sekitarnya.

Selain sbg ulama besar, HAMKA juga dikenal sbg penulis yang sangat produktif. "Tafsir Al-Azhar", tentu saja, dianggap sebagai masterpiece beliau. Beliau juga menulis buku "Sejarah Umat Islam" yang luar biasa tebal dan komprehensif . Berikut ini adalah sebagian buku karya beliau yang telah berhasil saya dapatkan. Dari keseluruhan karya sastranya, hanya empat ini yang sudah saya miliki. Sepeninggal beliau, lahir pula karya-karya yang membicarakan figur HAMKA. Kebesaran beliau diakui tdk hanya di tanah air, namun sampai ke Malaysia, Singapura dan Brunei. Hingga sekarang, buku2 HAMKA masih dicetak ulang dan didiskusikan di negeri-negeri jiran tersebut. Di Mesir, orasinya ttg Syaikh Muhammad 'Abduh membuatnya diganjar gelar doktor kehormatan.

Buya HAMKA adalah ulama berlevel internasional yg sangat jarang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Karena itu, kita pun maklum jika kalangan liberalis berusaha keras utk mencatut nama besar HAMKA. Langkah ini mmg sangat strategis, terutama jika masyarakat mudah saja dibodohi. Masalahnya, karya2 beliau sudah sulit sekali diperoleh. Banyak yg tdk tahu persis pemikiran HAMKA. Oleh karena itu, jika ada yang bilang "HAMKA itu pluralis", maka bisa jadi akan ada saja yang percaya.

Tentu saja, yg percaya begitu saja tanpa mengecek adalah kalangan non-intelek dan non-akademisi. Setelah menyaksikan tayangan di TVOne semalam, @Adefsurya dgn 'sigap' membuat 'kultwit singkat' seputar HAMKA. Seperti biasa, yg menjadi 'sasaran tembaknya' adalah segala sesuatu yg berbau Arab. Kita dapat melihat 'kultwit' @Adefsurya di link ini

Sepertinya @Adefsurya tdk siap utk membahas masalah pemikiran, krn yg dibahas hanya pakaian. Sangat disayangkan, dari keseluruhan tayangan tsb, yg diperhatikan hanya soal baju batik dan kopiah HAMKA. Tentu saja, tidaklah tepat jika figur Buya HAMKA dijadikan referensi utk sikap anti-Arab. Sebab, Buya HAMKA juga seringkali mengenakan jubah dan sorban. Ini contohnya.

Memang benar, ketika HAMKA muda, ada perdebatan soal budaya berpakaian. Ada yang berpendapat bahwa dasi, celana panjang dan jas adalah pakaian yang menyerupai kebiasaan orang-orang kafir. Dlm hal ini, HAMKA dan ayahnya sangat keras menentang. Krn tidak ada dasar yang kuat dari pendapat itu. Akan tetapi, kesimpulannya tdk boleh dibalik. Bukan berarti jubah dan sorban itu salah. Bahkan HAMKA sendiri bercerita bahwa ketika orang mulai bisa menerima jas dan celana, ia dan ayahnya pun kembali pada jubah dan sorban. Baik celana dan jas maupun jubah dan sorban, semuanya bisa Islami, asal memenuhi syarat2nya

Anehnya lagi, @Adefsurya dgn sangat tdk akurat menyebut ayahanda HAMKA sbg org Arab tulen. Barangkali ia keliru dgn fakta bhw Syaikh Abdul Karim Amrullah lama belajar di Mekkah.

Dalam buku "Ayahku", HAMKA telah bercerita panjang lebar mengenai garis keturunan ayahnya. HAMKA merunut dari 'Abdullah 'Arif yg bergelar Tuanku Pauh atau Tuanku Nan Tuo. Tuanku Nan Tuo ini adalah salah seorang tokoh dlm Perang Paderi. Anak perempuan Tuanku Nan Tuo, yaitu Saerah, menikah dgn 'Abdullah Saleh. Pernikahan ini melahirkan 'Amrullah, yg kemudian diberi gelar Tuanku Kisai. Tuanku Kisai adalah sahabat Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Ketika anaknya, Abdul Karim Amrullah, beranjak remaja, ia dikirim belajar ke Mekkah. Kita dapat melihat sendiri bahwa nenek moyang HAMKA adalah asli Minang, bila ditelusuri hingga Tuanku Nan Tuo. Oleh krn itu, klaim 'Arab tulen' dari @Adefsurya kedengaran begitu mengada-ada.

Utk membela Ahmadiyah, @Adefsurya menjelaskan bhw aliran ini dibawa oleh 3 org murid Sumatera Thawalib. Sumatera Thawalib adalah lembaga pendidikan yg dirintis oleh ayahanda HAMKA dkk. Selain "Tafsir Al-Azhar", ada 3 buku karya HAMKA yang menjelaskan ttg Ahmadiyah. Dlm buku "Pelajaran Agama Islam", HAMKA menjelaskan tentang sejarah masuknya Ahmadiyah. Di situ, HAMKA mengatakan bhw Ahmadiyah tidak diacuhkan oleh masyarakat Sumatera, karena aliran ini anti-jihad. Padahal, saat itu seruan jihad melawan penjajah membahana di seantero negeri. Dgn kata lain, Ahmadiyah tdk terlibat dlm jihad membebaskan negeri ini. HAMKA juga menjelaskan tentang 2 orang pengurus Muhammadiyah yang sempat terjerat ajarannya. Menurut HAMKA, kedua orang tersebut memang asalnya "Ngabangan", alias tidak mendalam pemahaman keislamannya.

Dlm buku "Pelajaran Agama Islam", HAMKA panjang lebar bercerita hingga sampai pd kesimpulan bhw Ahmadiyah itu sesat. Mereka yg mengaku nabi sesudah Rasulullah saw adalah kafir, demikian pula pengikutnya. Pd buku "Ayahku", HAMKA jg bercerita ttg interaksi Sang Ayah dgn Ahmadiyah. Di buku itu, HAMKA mencatat bhw ayahnya pernah menulis buku berjudul "Qaulun Shahih" utk membantah Ahmadiyah. Dlm buku "Hamka Membahas Soal-soal Islam", jg ada komentar HAMKA ttg Ahmadiyah. Menurutnya, Mirza Ghulam Ahmad tidak layak sebagai nabi, bahkan sebagai mujaddid pun harus ditolak. Sebab, mujaddid tdk akan mengubah2 ajaran agama. Apalagi merevisi syariat jihad.

@Adefsurya jg menyebutkan bhw di jaman HAMKA, Ahmadiyah hidup aman. Komentar ini memang benar, namun ia lupa menimbang sebabnya. Dlm buku "Pelajaran Agama Islam" dan "Hamka Membahas Soal-soal Islam", hal ini telah dijelaskan. HAMKA menyatakan dengan jelas bahwa Ahmadiyah adalah agama di luar Islam. Oleh karena itu, sikap kita terhadap Ahmadiyah sama seperti sikap kita terhadap agama-agama lainnya. Dengan kata lain, toleransi diberikan tanpa memberikan pembenaran pada ajaran-ajaran agamanya. Sikap ini jelas berbeda dengan sikap kaum liberalis yang mengusung 'toleransi' tanpa kejelasan aqidah.

@Adefsurya pun menyindir dengan melihat fakta bahwa pada jaman HAMKA, jilbab besar tidak terlihat. Sayangnya, lagi-lagi pisau analisisnya sangat tumpul. Tidak ada penelaahan yang mendalam mengenai fenomena yg diteliti. Yang jelas, dalam hal ini kaum liberalis memang menerapkan standar ganda. Jika jilbab dianggap budaya asing, maka bukankah gaya berpakaian terbuka adalah budaya asing juga? Sebagaimana jilbab besar tidak ditemukan di jaman HAMKA, bukankah tanktop pun tidak ditemukan pada jaman itu? Tapi mengapa kaum liberalis tidak bersikap keras terhadap tanktop? Adakah hawa nafsu berbicara? Kaum liberalis sering menyuarakan 'perubahan'. Jadi apa salahnya beralih ke jilbab? Inilah salah satu bentuk sikap #plinplan kaum liberalis. Tdk ada sikap yg jelas utk menyikapi relasi antara agama dan budaya. Hari ini, cucu Buya HAMKA, yaitu Yousran Rusydi, telah menyebut @Adefsurya manipulatif di wall FB.

Demikianlah kultwit 'singkat' tentang Buya HAMKA. Semoga Allah melahirkan Hamka-Hamka berikutnya di negeri ini. Semoga kita dapat menarik pelajaran sebanyak2nya dari HAMKA dan melindunginya dari fitnah keji kaum liberalis. Aamiin yaa Rabbal 'aalamiin…

Kami bersaksi bahwa Buya HAMKA adalah ulama yang lurus dan telah jalankan tugasnya.

__,_._,___

No comments: